Oleh:
Mualim Ihsan
Kiai Haji Ma’shoem atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Ma’shoem Lasem merupakan ulama besar Indonesia, pendiri dan pengasuh Pon-Pes Al Hidayat Lasem Rembang. Pon Pes Al hidayat didirikan oleh Mbah Ma’shoem pada tahun 1917.
Selain itu, Beliau merupakan salah satu pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Beliau bersama-sama dengan para ulama, seperti KH Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Cholil Lasem, ikut membidani lahirnya organisasi NU. lebih dari itu, Beliau setia berjuang dan membesarkan NU sampai akhir hayatnya.
Sejak masa muda Mbah Ma’shoem sangat anti terhadap colonial Belanda maupun Jepang. Karena itu, segala hal yang berbau Belanda atau Jepang Beliau hindari, termasuk sekolah. Sejak kecil Beliau mengaji kepada ayahnya, Achmad Abdul Karim. Setelah itu, Beiau memilih pendidikan dan menimba ilmu di berbagai pondok pesantren.
Terhitung Beliau pernah mengaji kepada Kiai Nawawi Mlonggo Jepara, Kiai KH Umar Sarang Rembang, KH Cholil Bangkalan Madura, Kiai Siraj Kajen Pati, dan Kiai Idris Solo. Tidak hanya itu, Beliau juga berguru kepada KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Kiai Ridwan Semarang, Kiai Dimyati Tremas, dan Kiai Mahfudz Tremas (di Mekkah).
Sebagai ulama pengasuh pondok pesantren Mbah Ma’shoem telah banyak mendidik dan membina para santri. Beliau dengan kesabaran dan keihklasan yang tinggi memberikan ilmu dan keteladanan hidup kepada para santri. Banyak santri Beliau yang kemudian hari menjadi tokoh panutan masyarakat, menjadi kiai, menjadi pengasuh pondok pesantren, dan juga menjadi birokrat serta politisi.
Santri-santri Mbah Ma’shoem yang mashur kiprahnya di masyarakat antara lain Kiai Bisri Syamsuri Jombang, Kiai Abdul Chamid Pasuruan, Kiai A Faqih Langitan, Kiai Muslich Mranggen, Kiai Chudori Magelang, dan lain-lainnya. Penyebutan ini hanya sekadar memberi contoh santri alumni Pon Pes Al Hidayat saja. Masih banyak santri-santri Mbah Ma’shoem yang berkiprah di masyarakat yang tersebar di Indonesia yang tidak bisa disebutkan di sini.
Mbah Ma’shoem Wafat
Kurang lebih dua tahun sebelum mbah Ma’shoem wafat, Beliau menengok pamanda beliau, KH Baidhowi Lasem yang sedang sakit. Di hadapan Kiai Baidhowi, Mbah Ma’shoem menyampaikan pernyataan yang membuat orang-orang yang hadir terkejut. “Saya akan menyusul dua tahun lagi andaikata hari ini paman wafat,” demikian kata Mbah Ma’shoem. Sebagaimana diketahui KH Baidhowi wafat pada 12 Syawwal 1390 H atau 11 Desember 1970.
Jum’at pagi, 20 Oktober 1972 atau 12 Ramadhan 1392, dalam kondisi sakit Mbah Ma’shoem mengumpulkan keluarga dan putra-putrinya. Kepada mereka mbah Ma’shoem berpesan agar senang mencintai fakir miskin. Mbah Ma’shoem menganjurkan agar mereka suka menolong dan meringankan penderitaan fakir miskin.
Selain itu, Mbah Ma’shoem juga berpesan agar mereka suka menerima dan menghormati tamu. Kepada putra-putrinya Mbah Ma’shoem berpesan agar mereka meneruskan amaliah yang telah dilakukannya dan jejak langkah hidupnya, utamanya amaliah bidang pendidikan dan pengajian, serta amaliah sholeh lainnya. Pesan dan anjuran tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Lebih dari itu, anjuran tersebut meningkat menjadi perintah membagi-bagikan uang, beras, sarung, dan apapun yang ada pada hari itu juga, kepada fakir miskin tetangganya. Bahkan Mbah Ma’shoem menyebutkan nama satu persatu fakir miskin yang akan diberi bantuan.
Itulah beberapa keisitimewaan Mbah Ma’shoem. Beliau cinta dan mencintai fakir miskin, mencintai tamu, dan rajin bersilaturrahmi. Beliau juga rajin memelihara hubungan dengan para alumni santri Al Hidayat. Amaliah lain Mbah Ma’shoem adalah Beliau juga rajin membangun dan memperbaiki masjid atau langgar-langgar di beberapa daerah.
Setelah putra-putrinya melaksanakan perintahnya, kemudian Mbah Ma’shoem meminta tolong berwudhu lalu melakukan shalat dhuha. Shalat dhuha ini berjalan terus menerus. Tidak berhenti. Selesai salam dua rakaat beliau shalat lagi. Shalat lagi, dan shalat lagi. Begitu seterusnya. Sehingga untuk keperluan shalat Dhuha ini Beliau memerlukan bantun berwudhu beberapa kali.
Dalam kondisi demikian itulah, dalam masa kemarau kering Mbah Ma’shoem tetep berpuasa Ramadhan. Setelah menyampaikan pesan-pesan kepada keluarga dan dalam kondisi berwudhu, Beliau siap menghadap kehadirat Allah SWT. Dengan suara yang jelas, fasih, halus dan lembut Beliau mengucapkan berturut-turut kalimat: Allah…. Allah… Allah….
Mbah Ma’shoem wafat. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rajiu’un… Beliau menghadap Allah SWT, Jum’at 12 Ramadhan 1392 kurang lebih pukul 14.00. Beliau wafat pada usia 102 tahun. Kemudian jenazah Beliau dimakamkan di samping Masjid Besar Lasem Rembang.
Sebagaimana yang dikatakan Mbah Ma’shoem ketika menjenguk Kiai Baidhowi, Mbah Ma’shoem wafat kurang lebih dua tahun dari kewafatan pamandanya, Kiai Baidhowi Lasem. Sampai ahkir hayatnya Mbah Ma’shoem tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan. Lebih dari itu, Beliau tetap tekun melakukan shalat tahajut serta mengikuti shalat Jum’at meskipun sakit. Untuk tetap jum’atan Beliau rela terlentang di dalam mobil yang diparkir di halaman Masjid Lasem.
Wallahu a’lam.
Komentar0