Oleh : Mualim Ihsan
Di kalangan pesantren dan masyarakat umum di Indonesia Ratibul Haddad merupakan salah satu wirid yang cukup popular dan sering dibaca. Adakalanya dibaca harian, mingguan, atau bulanan (selapanan). Baik dibaca sendirian maupun dibaca bersama-sama di rumah, di masjid-masjid, surau, pesantren, dan madrasah.
Ratibul Haddad merupakan kumpulan ayat-ayat Al Qu’an, doa, tasbih, dan tahlil. Ratib ini bisa dibaca antara mahgrib dan isya, pagi hari antara shalat subuh dan terbitnya matahari, bahkan bisa dibaca ketika perjalanan ke tempat kerja.
Ratibul Haddad ini disusun oleh Al Imam Al Allamah As Sayyid Abdullah bin Alwi Al Haddad Al Alawi Al Husaini, atau lebih akrab disebut Habib Abdullah Al Haddad.
Lantas, siapakah sebenarnya Habib Abdullah Al Haddad itu? Beliau lahir di Tarim, Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Kamis, 5 Shafar 1044 H. Pada masa itu, kota Tarim menjadi pusat kegiatan Kaum Alawiyyin.
Kaum Alawiyyin adalah sebutan bagi keturunan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Tahlib. Leluhur Kaum Alawiyyin pertama yang hijrah ke Hadramaut adalah Al Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far As Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra.
Sayyid Habib Abdullah Al Haddad besar di bawah asuhan ayahandanya, Sayyid Alwi bin Muhammad Al Haddad. Pada umur 4 tahun ia terkena penyakit cacar yang menyebabkan kedua matanya menjadi buta. Meski demikian Ia tumbuh menjadi pelajar yang berbakat, cerdas, dan cemerlang otaknya melampaui rata-rata anak-anak yang sebaya dengannya.
Habib Abdullah tumbuh menjadi pelajar yang dikagumi setiap orang yang mengenalnya. Dalam usianya yang dini Ia berhasil mengahafal seluruh Al Qur’an Al Karim. Allah SWT telah menggantikan penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah disamping kemmapuan menghafal yang sangat kuat.
Tidak hanya itu, Ia juga mempelajari dan menguasai kitab-kitab tasawuf karangan Al Imam Al Ghazali yang. Pengaruh kitab-kitab Al Ghazali inilah yang membawanya ke lingkungan hidup yang didominasi kesufiaan yang kuat.
Kecenderungan hidup Habib Abdullah yang didominasi kesufian ini rupa-rupanya tidak berkenan di hati ayahnya. Karena itu, ayahnya mengarahkannya untuk mempelajari ilmu-ilmu syari’at, sebelum mempelajari ilmu-ilmu hakikat. Maka mulailah Ia mempelajari ilmu-ilmu tafsir, hadis, fikih, tarikh, dan lainnya di bawah bimbingan ulama-ulama besar di Tarim.
Guru-gurunya antara lain Al Allamah As Sayyid Aqil bin Abdurrahman Assagaf, Al Allamah Sahl bin Ahmad Bahasan, Al Allamah Abdurrahman bin Syaikh Aidit, Al Allamah Umar bin Abdurrahman Al Attas, dan lainnya. Ia belajar tidak kurang dengan seratus ulama pada zamannya.
Pada masa mudanya ia sering menyendiri di tempat-tempat sunyi untuk bertafakkur dan beribadah. Namun kebiasaannya ini tidak mengurangi semangat dan ketekunannya dalam menuntut ilmu. Dari satu masjid ke masjid lainnya, dari satu kota-kota lainnya, ia mendengar dan menimba ilm NUu dari para ulama.
Di sela-sela itu, tak kurang pula ketekunannya dalam beribadah. Setiap hari, selepas mengikuti pelajaran, ia shalat sunnah di masjid tak kurang dari seratus, bahkan dua ratus rakaat seharinya.
Selain itu, ia juga memiliki kebiasaan berziarah ke makam para leluhur kaum Alawiyyin. Adalah pemandangan biasa bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antara kota Tarim dan Seiwun menyaksikan seorang pemuda yang buta berjalan sendirian di malam-malam yang sepi untuk berziarah ke makam Al Imam Ahmad Al Muhajir.
Tidak hanya itu, selesai ziarah ia menimba air untuk mengisi kolam-kolam di masjid dekat makam itu. Kemudian ia pulang ke kota Tarim dengan hati yang puas dan jiwa dipenuhi dengan bekal ruhani.
Selain berziarah ke makam Al Imam Ahmad Al Muhajir, ia juga berziarah ke makam Al Imam Muhammad bin Ali Al Faqih Al Muaqaddam serta tokoh-tokoh besar lainnya. Ia juga berziarah ke makam Nabi Hud sebagaimana tradisi di Hadramaut pada bulan Sya’ban.
Dengan ziarah-ziarah seperti itu, jiwanya merasakan ketenteraman dan memperoleh bekal ruhani yang diperlukan dalam menempa diri dan melawan hawa nafsu.
Sayyid Habib Abdullah Al Haddad tidak pernah lelah untuk menempa diri. Ia tidak pernah berhenti dalam bersuluk, menempuh perjalanan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Akhirnya, perjuangan tak kenal lelah yang dilakukannya selama puluhan tahun (dalam menuntut ilmu dan mensucikan jiwa dari segala perilaku yang tercela, seraya mengisinya dengan akhlak nabawiyyah) telah mengantarkannya ke puncak kesempurnaan insani. Sehingga berhaklah ia menyandang gelar Mujtahid Mutlak dalam bidang syariat dan Al Quth Al Ghauts dalam ilmu hakikat.
Jadilah ia panutan kaum bertakwa. Teladan bagi yang berjalan lurus dan tulus. Sumber ilmu bagi yang ingin meraihnya. Serta rahmat bagi siapa saja yang mendambakannya. Murid-muridnya berdatangan dari setiap penjuru, baik dari Hadramaut maupun dari luar.
Al Habib Abdulllah Al Haddad melewati tahun demi tahun dalam usia yang penuh berkah dan kebaikan, jihad dan mujahadah, mengajar dan berdakwah, sampai saatnya ia memenuhi penggilan Allah SWT. Ia wafat dengan tenang pada malam Selasa, 7 Dzulqa’dah 1132 H; dalam usia 88 tahun. Ia dimakamkan di Zambal, dipemakaman keluarga, di pinggir kota Tarim.
Karya-karya Habib Abdullah Al Haddad
Selain keahliannya dalam mengajar dan berdakwah Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis kitab yang produktif. Secara umum kitab-kitab karya Habib Abdullah membahas masalah aqidah, akhlak, dan tasawuf.
Misalnya, Aqidatul Islam, Ad Da’wah At Tammah, Sabilul Iddikar, dan Al Fushul Al Ilmiyyah. Ada lagi, kitab An Nashaikhud Diniyyah, Adab Suluk Al Murid, Ithaf As Sail bi Syarhil Masa’il, dan Risalatul Mua’awanah.
Dan tentu karya Habib Abdullah yang paling popular dan banyak diamalkan oleh masyarakat Indonesia adalah wirid Ratibul Haddad.
Wallahu A’lam.
Sumber bacaan: Dr. Alwi Shihab, Ph.D, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia, Pustaka IMAN-Mizan, 2009.
Komentar0