Oleh: Mualim
Manusia itu jasmani-rohani. Aspek jasmani
manusia adalah badannya, wadagnya, atau casing-nya. Sedangkan
aspek rohani manusia adalah jiwanya, rohnya. Hanya makhluk yang bernama manusia
saja yang memiliki dimensi jasmani sekaligus rohani. Karena itu manusia
merupakan makhluk yang terbaik di jagad raya ini dilihat dari aspek
penciptaannya.
Berkaitan dengan puasa,
manusia bisa dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, manusia yang berpuasa
secara jasmani. Kedua, manusia yang berpuasa secara jasmani-rohani.
Berpuasa dalam arti ngempet
tidak makan-minum dan tidak melakukan segala aktifitas yang bisa membatalkan
puasa dengan cara tertentu disertai dengan niat mulai dari fajar (subuh) sampai
terbenamnya matahari (maghrib) masuk pada kategori berpuasa secara jasmani.
Puasa jenis ini sudah sah dalam pandangan fikih.
Meski demikian, berpuasa
seperti ini tidak seluruhnya jasmani. Karena, puasa seperti ini tetap
melibatkan aspek rohani. Aspek rohani ini berupa keterlibatan hati pada saat
niat. Sedangkan niat atau motivasi ini merupakan gambaran kesadaran manusia
sebagai hamba yang ingin taat beribadah karena Allah SWT.
Jika manusia mampu
berpuasa secara jasmani berarti ia telah mampu menguatkan rohaninya meski masih
tahap awal. Dengan berpuasa ia mampu mengendalikan godaan-godaan dan tantangan
jasmaniah yang ia hadapi. Ia tidak tergoda dengan sedapnya makanan meski perut
keroncongan. Ia tidak tergoda dengan segarnya minuman meski kerongkongannya
kering. Ia mampu bertahan dari sengatan matahari dan cuaca panas karena ia
sadar sedang berpuasa. Tidak hanya itu, ia juga sadar bahwa sengatan api neraka
lebih panas daripada sengatan matahari. Dengan kesadaran sedang berpuasa rohani
manusia mampu mengendalikan keinginan-keinginan (syahwat)
jasmaniah.
Hal tersebut tentu berbeda
dengan binatang. Binatang tak memiliki kekuatan rohani untuk mengatur dan mengendalikan
keinginan-keinginan jasmaniahnya. Binatang hanya menggunakan insting untuk
hidup. Jika ia lapar maka ia akan mencari makan. Ia akan makan apapun yang bisa
ia makan. Tidak peduli apakah makanan tersebut milik majikannya atau milik
orang lain. Sebab ia tidak memiliki kekuatan untuk memilih dan memilah. Binatang
hidup berdasarkan insting hewaniyyahnya; makan, minum, berkembang biak, dan
kebutuhan biologis lainnya.
Adapun jenis puasa kedua
adalah puasa secara jasmani-rohani. Setelah manusia mampu berpuasa secara
jasmani (mampu ngempet makan-minum, dan lainnya), tahap berikutnya agama
mendorong untuk puasa secara rohani. Tahap ini manusia diajak untuk ngempet, menghindari, menjahui
aktifitas-aktifitas yang membuat kotor rohaninya. Bisa dikatakan puasa tahap
ini mendorong manusia untuk membersihkan hati dan pikirannya dari
keinginan-keinginan dan aktifitas-aktifitas yang membuat hati dan pikiran keruh
dan kotor.
Mari kita renungkan sabda
Nabi SAW:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ
صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش
Artinya: “Betapa banyak
orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali
rasa lapar dan dahaga.”
Mari kita renungkan juga
sabda Nabi SAW:
خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ،
والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ
Artinya: “Lima hal yang
bisa membatalkan pahala orang berpuasa: membicarakan orang lain, mengadu domba,
berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu”
Kedua sabda Nabi SAW
tersebut mengingatkan bahwa tidak cukup kita hanya berpuasa secara jasmani
saja. Kita puasa menahan makan minum tetapi dipihak lain mulut kita misalnya,
suka berkata kotor, menyakiti orang lain, atau suka berbohong. Atau misalnya,
kita berbicara yang tidak berfaedah, menyebar berita bohong (hoaks) yang
menyebabkan orang terprovokasi, memancing pertengkaran, dan lainnya.
Boleh dikatakan bahwa
sabda Nabi SAW tersebut mengajak kepada kita untuk berpuasa dengan sepenuh jiwa
raga. Raga kita berpuasa menahan, ngempet dari makan-minum dan hal-hal lain
yang membatalkan puasa. Bersamaan dengan itu, jiwa kita juga berpuasa, ngempet,
atau menjahui aktifitas-aktifitas yang membuat rohani kita kotor, seperti
menjahui ghibah, namimah, berbohong, dan perbuatan tercela lainnya. Dengan
demikian, kedua sabda Nabi SAW mengajak kepada kita untuk berpuasa secara
totalitas. Berpuasa secara lahiriah dan juga berpuasa secara bathiniyah.
Berpuasa sepenuh jiwa-raga.
Jika kita mampu berpuasa sepenuh jiwa-raga,
maka rohani kita akan kuat, sehat, dan bersinar. Sesungguhnya puasa mengajak
manusia untuk memperkuat sisi rohaninya. Manusia diajak kembali pada sisi
kemanusiaannya yang sejati. Ia menjadi dekat Allah SWT. Ia kendalikan nafsunya.
Ia bersihkan hatinya dari kotoran-kotoran perilaku yang tidak terpuji. Ia rela tinggalkan
kesenangan-kesenangan jasmani dalam rangka menghamba kepada Allah SWT. Dengan
kesadaran bahwa ia sedang berpuasa manusia berusaha menepis godaan-godaan nafsu
yang menjauhkannya dari Allah SWT. Sebaliknya ia terus melangkah mendekat
kepada Allah SWT dengan bersyukur, berdzikir, memuji Allah SWT, dan amal-amal
sholeh lainnya.
Dengan demikian, puasa
tidak hanya menyehatkan jasmani kita, lebih dari itu puasa juga menyehatkan
rohani kita. Sehat lahir batin.
*Penulis adalah pengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono
Komentar0