Oleh: Mualim*
Apa yang akan Anda lakukan jika Anda akan kedatangan tamu agung? Bisa Kiai Anda, Idola Anda, calon mertua Anda, pimpinan Anda, atau siapapun yang Anda anggap sebagai orang terhormat, penting, dan menentukan hidup Anda. Tentu Anda akan mempersiapkan diri semaksimal mungkin untuk menyambutnya. Anda akan membersihkan rumah Anda dari debu, bau tidak sedap, sawang-sawang dan kotoran. Anda menge-cat ulang tembok rumah yang memudar dan kusam, biar smart dan enak dipandang. Anda akan merapikan perabotan rumah. Anda juga akan menyiapkan tempat beristirahat bagi tamu Anda.
Anda juga persiapkan jamuan selezat mungkin. Anda akan mempersiapkan baju apa yang akan Anda pakai untuk menyambutnya. Anda akan menempatkan bunga-bunga di teras rumah Anda. Halaman rumah Anda yang masih berupa batu-batu akan Anda plester atau paving. Dan persiapan lainnya dalam rangka untuk menyambut tamu agung tersebut.
Nah, ibarat tamu, Lailatul Qadar adalah tamu agung bagi orang-orang yang beriman. Tamu agung yang akan menentukan dan mengubah hati orang-orang beriman. Tamu yang akan membuat hati orang-orang yang beriman bahagia. Ia malam yang penuh berkah. Malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam yang menentukan kehidupan orang-orang beriman. Malam dimana para malaikat turun ke bumi membawa keberkahan dari langit.
Kedatangannya pasti. Ia pasti datang. Percaya atau tidak ia akan tetap datang. Namun kedatangannya tidak ada yang bisa memastikan hari apa tanggal berapa. Nabi Muhammad SAW hanya meng-ancer-anceri kedatangannya pada sepuluh akhir Ramadhan. Lebih mengkerucut lagi Lailatul Qadar akan menghampiri Anda pada malam-malam ganjil sepuluh akhir Ramadhan. Tanggal berapa Nabi tidak menjelaskan secara detail. Apakah malam ke-21, ke-23, ke-25 Beliau tidak memerinci.
Jika demikian, bagaimana cara kita menyambutnya? Nabi memberi teladan kepada kita supaya kita lebih bersemangat lagi beribadah. Bahkan Beliau membangunkan keluarga atau istri-istri untuk beribadah malam. Jadi, teladan yang disampaikan Nabi kepada kita pada detik-detik akhir Ramadhan adalah semakin kenceng, semakin meningkatkan ibadah, semakin sungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, pada detik-detik akhir Ramadhan ibadah justru semakin mengendur, semangat ibadah pudar.
Berkaitan dengan malam Lailatul Qadar, jika kita mencermati pembahasan akhir tentang puasa pada kitab-kitab fikih (Syafi'iyah) kita akan menjumpai pembahasan tentang iktikaf. Bisa dibilang iktikaf merupakan salah satu cara menyambut kedatangan Lailatul Qadar. Intinya, dengan beriktikaf kita dilatih untuk fokus beribadah; shalat, berdoa, membaca Al Qur'an, berdzikir, dan bisa juga muthala'ah ilmu.
Teladan Nabi yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih oleh masyarakat kita direspon dengan lahirnya tradisi likuran. Tradisi likuran ini mendorong masyarakat untuk lebih meningkatkan ibadah pada sepuluh akhir Ramadhan, lebih-lebih pada malam ganjil. Biasanya likuran ini dilakukan secara berjamaah di masjid atau di musholla. Ada yang melakukan shalat tasbih, ada yang berdzikir bersama, ada yang shadaqahan atau selamatan, dan kegiatan lainnya.
Walhasil, persiapan menyambut Lailatul Qadar sebenarnya adalah menyiapkan rohani, hati, dan pikiran kita untuk fokus taqarrub kepada Allah. Diharapkan kita berusaha membersihkan rohani kita dari hiruk pikuk urusan duniawi. Diharapkan kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk mengajak rohani kita untuk bermunajat, bersimpuh, melakukan pisowanan agung di hadapan Allah Yang Maha Kasih.
Karena itu, jika kita tidak mampu beriktikaf, shalat malam, membaca Al Qur'an, karena suatu hal ada baiknya kita memperbanyak berdoa, " Allahumma innaka 'afuwun, tukhibbul 'afwa, fa'fu 'anni. Terjemahannya kurang lebih begini, " Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengampun, ampunilah diriku." Ini doa yang diajarkan Nabi Saw kepada Sayyidah 'Aisyah r.a. Doa ini bisa kita baca untuk mengisi malam sepuluh akhir Ramadhan kita.
Tetapi justru disinilah kesulitan yang sering kita hadapi. Mendekati hari raya Idul Fitri justru konsentrasi kita tertuju pada kesibukan membeli baju, membeli sandal, membeli sarung, pesan jajan makanan, pesan minuman, dan lainnya. Kita disibukkan dengan aksesoris-aksesoris yang bersifat jasmani-duniawi. Kesibukan ini justru menjauhkan rohani kita dari ibadah.
Padahal peristiwa Lailatul Qadar adalah peristiwa rohani. Hati yang bersih dan pikiran yang jernihlah yang akan mempu menyadari kedatangan Lailatul Qadar. Meski demikian, percayalah bahwa Lailatul Qadar tetap mendatangi kita, meskipun kita tidak menyadarinya.
Ilustrasinya, begini. Ibaratnya kita akan menyambut kedatangan idola atau pujaan kita. Jika kita mempersiapkan diri, mencari tempat paling depan, maka kita akan bisa melihat kedatangannya, bersalaman, bahkan bisa berpelukan dengan idola kita. Kalau zaman now kita bisa mengajaknya silfie. Sebaliknya, jika kita santai-santai saja, atau bahkan bermalas-malasan, maka kita kemungkinan besar tidak akan bisa bersalaman dengan idola kita. Alih-alih bersalaman, bahkan kita tidak bisa melihat kedatangannya. Lebih parah lagi kita tidak menyadari kedatangannya. Mengapa? Karena posisi kita berada di belakang orang-orang yang berada di barisan depan. Mata kita terhalang atau tertutup oleh punggung orang-orang di barisan depan kita. Atau saat idola kita datang, kita malah sedang bercakap-cakap dengan orang lain, atau kita sedang mengantuk, atau bahkan kita sedang tidur.
Itulah gambaran hati kita. Ada kalanya hati kita bersih dan terjaga. Sehingga bisa menyadari dan menyambut kedatangan Lailatul Qadar. Ada kalanya hati kita tertutup dan tertidur karena kesibukan dan beban urusan-urusan duniawi. Sehingga kita tidak mampu menyadari kedatangan Lailatul Qadar, apalagi sampai menyambutnya. Demikian, mudah membicarakan cara menyambut Lailatul Qadar tetapi sulit melakukannya bukan?
*Penulis adalah guru di MTs. NU Miftahul Falah
Komentar0