Oleh: Mualim*
Kiai Haji Adullah Zain Salam (1920-2001 M) merupakan seorang ulama kharismatik asal Kajen Pati. Beliau akrab dipanggil Mbah Dullah Salam. Mbah Dullah merupakan perintis pondok pesantren Mathali’ul Huda Polgarut Selatan (PMH Pusat) Kajen Pati. Silsilah nasab beliau sambung sampai ke Mbah Mutamakkin. Mbah Dullah juga dikenal sebagai sosok waliyullah, hafidzul Qur’an (hafal Qur’an di luar kepala), bahkan hamilul Qur’an (orang yang memahami dan mengamalkan kandungan Qur’an).
Lebih dari
itu, Mbah Dullah mufassir, orang yang mampu menjelaskan isi kandungan Al
Qur’an, sosok faqih,orang memahami fikih serta mengamalkannya, dan
seorang sufi yang konsisten mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf Sunni. Selain
itu, Mbah Dullah juga termasuk mursyid thariqah Naqsabandiyyah Mujaddadiyyah
Khalidiyyah. Yang mana dhawuh-dahwuh beliau serta akhlak beliau mampu
menjadi cahaya dan penyejuk hati masyarakat.
Mbah Dullah menghafalkan Al Qur’an dengan Kiai
Muhammad Sa’id pengasuh pondok pesantren Assa’idiyah Madura. Setelah itu,
Beliau pulang belajar dengan para kiai-kiai
di Kajen dan di Madrasah Mathali’ul
Falah. Selesai dari Mathali’ul Falah, Mbah Dullah belajar di Tebuireng dengan
KH M. Hasyim Asy’ari. Masih belum cukup, Mbah Dullah juga berguru kepada Kiai
Abdul Hamid Pasuruan. Selain itu, Beliau juga belajar Qira’ah Sab’ah dan
ilmu thariqah kepada KH Arwani Kudus.
Dilihat dari
perjalanan keilmuan yang ditempuh Mbah Dullah tentu menguasai berbagai disiplin
ilmu-ilmu keislaman. Sehingga beliau menjadi sosok yang alim, allamah, fakih,
dan sufi. Sudah tentu Mbah Dullah termasuk pakar kitab kuning. Meskipun
demikian, yang sangat ditekuni Mbah Dullah adalah Al Qur’an. Mbah Dullah sangat
mencintai Al Qur’an. Para santri ditanamkan kebiasaan membaca Al Qur’an. Mbah
Dullah sangat memperhatikan anak-anak kecil belajar Al Qur’an.
Berkaitan masalah
pendidikan keluarga, Mbah Dullah merencanakan anak-anaknya untuk belajar dan
menghafal Al Qur’an sejak usia madarsah ibtidaiyyah (sekolah dasar). Setelah
mereka hafal Al Qur’an, Mbah Dullah mendorong anak-anakanya untuk belajar dan
mendalami kitab kuning. Tujuannya, dengan menguasai kitab kuning seseorang bisa
memahami dan mengamalkan isi kandungan Al Qur’an dengan baik.
Dengan
ihktiyar dan pertolongan Allah SWT Mbah Dullah berhasil mengkader anak-anaknya
menjadi generasi cinta Al Qur’an. Anak-anak Mbah Dullah mulai dari KH A Nafi’
Abdillah, KH Minan Abdillah, dan KH Ahmad Zaki Fuad Abdillah mengasuh pondok
pesantren di Kajen.
Adapun anak
perempuan beliau Hj. Hanifah menjadi istri KH Ma’mun Muazyyin pengasuh pondok
pesantren Permata Kajen. Hj. Munawwarah menikah dengan KH M Busyro Abdul Lathif
pengasuh pondok pesantren Nurul Hidayah Purwodadi. Hj. Ishmah menikah dengan KH
Ulin Nuha Arwani Kudus, pengasuh pondok pesantren Arwaniyyah Yanbu’a. Sedangkan
Hj. Shofwatin Nikmah menikah KH Abdullah Ubaid pengasuh pondok pesantren Darul
Qur’an Tegal.
Kisah singkat
kehidupan Mbah Dullah Salam ini saya sarikan dari buku berjudul Keteladanan
KH Abdullah Zain Salam: Kiat Sukses Membangun Pendidikan Keluarga karya Dr.
Jamal Ma’mur Asmani, MA, Global Press, 2018. Membaca kisah Mbah Dullah ini kita
bisa mengambil iktibar bahwa tidak cukup bagi kita hanya bisa membaca Al Qur’an
saja. Bagi penghafal Al Qur’an tidak cukup hafal diluar kepala saja. Lebih dari
itu, para penghafal Qur’an harus mampu memahami dan berusaha mengamalkan
kandungan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. .
Memang membaca
Al Qur’an adalah salah satu amalan yang dicintai Allah. Memang membaca Al
Qur’an sudah bernilai ibadah (Al Muta’abbadu bi tilawatihi). Bahkan satu-satunya aktifitas membaca yang bernilai
ibadah dan mendapat pahala adalah membaca Al Qur’an. Meskipun orang yang
membaca tidak memahami isi kandungan Al Qur’an. Orang yang membaca satu huruf
akan mendapatkan satu kebaikan. Kemudian satu kebaikan akan dilipatgandakan
sepuluh kali lipat.
Akan tetapi,
Al Qur’an tidak hanya sebatas untuk dibaca saja. Al Qur’an tidak sebatas untuk
ritual saja, dibaca ketika shalat misalnya. Lebih dari itu, Al Qur’an adalah hudal
linnas, petunjuk bagi manusia. Petunjuk yang jika dipahami dan dilaksanakan
akan mampu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Al Qur’an yang
jika dipahami dengan benar akan menuntun manusia menuju kebahagiaan dunia
akhirat. Al Qur’an akan akan menjadi pelipur duka di alam kubur. Pun, Al Qur’an
nanti akan menjadi penolong kita di hari Kiamat.
Karena itu,
sejak dini kita harus mencintai Al Qur’an. Bagaimana caranya? Pertama kita
harus mempelajarinya. Pada tahap ini kita
belajar mengaji, belajar membaca. Sehingga kita
mampu membacanya fasih, membaca dengan baik dan benar.
Jika sudah
mampu membaca dengan baik dan benar, maka kita harus istiqomah, terus menerus membacanya
setiap hari. Membaca Al Qur’an tidak terbatas ketika kita masih anak-anak yang
ngaji di TPQ, melainkan sepanjang hayat kita harus membaca Al Qur’an. Justru
ketika remaja kemudian berumah tangga membaca Al Qur’an harus semakin intensif.
Sebab ketika kita menjadi orangtua, kita dilihat dan menjadi contoh anak-anak
kita. Apalagi ketika kita mendekati ajal harus semakin bertambah kecintaan kita
kepada Al Qur’an.
Membaca Al
Qur’an tidak hanya pada waktu shalat saja, tetapi juga membaca Al Qur’an di
luar shalat. Intinya kita harus meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an; ayat
demi ayat, surat demi surat sepanjang hayat.
Kedua, kita
hendaknya berusaha memahami isi kandungan Al Qur’an. Secara global Al Qur’an
berisi ajaran tentang keimanan, syariat, dan Akhlak. Langkah praktis
memahaminya adalah dengan mengaji tafsir Al Qur’an kepada para kiai, ulama,
ajengan yang mumpuni ilmunya. Di Kudus sendiri ada pengajian tafsir setiap
Jum’at pagi, bakda shubuh, di Masjid Menara Kudus. Selain itu, di era digital
saat ini, sebetulnya mengaji tafsir Al Qur’an bisa kita lakukan dengan mudah.
Banyak kiai-kiai yang menyajikan ngaji tafsir live streaming di kanal-kanal
face book, dan media lainnya. Tinggal diri kita mau ngaji atau tidak.
Intinya luangkan waktu untuk mengaji.
Selanjutnya, bagi para penghafal penghafal Al
Qur’an hendaknya membekali diri dengan ilmu-ilmu keislaman seperti Nahwu,
Sharaf, Hadist, Tafsir dan lainnya. Ilmu-ilmu ini dibutuhkan dalam rangka
memahami isi dan petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Dengan begitu, para penghafal Al
Qur’an yang setiap hari bergelut dengan Al Qur’an mampu memahami dan menyerap
kandungan Al Qur’an.
Ketiga, jika kita sudah mampu membaca Al Qur’an dan memahami kandungan Al Qur’an langkah berikutnya adalah mengamalkan kandungan Al Qur’an pada kehidupan sehari-hari. Sehingga semangat hidup kita diwarnai oleh cahaya Al Qur’an. Berkah Al Qur’an hubungan kita dengan Allah semakin kuat, begitu juga hubungan kita dengan sesama makhluk semakin harmonis. Hati dan Pikiran kita menjadi bening. Pada akhirnya memancarkan keindahan dari perilaku kita. Demikian itu mudah diucapkan, namun sulit dipraktekkan, bukan? Wallahu a’lam
*Penulis adalah pengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono
Komentar0