GpY8BSMpTUM6GSC5TUr8TfClTA==

Mencintai Al Qur’an, Belajar Dari Mbah Dullah Salam Kajen (Renungan Ramadhan 5)

Fatayat NU di Madiun ajari ibu-ibu baca Al Qur'an (source foto: nu online)


Oleh: Mualim*


         Kiai Haji Adullah Zain Salam (1920-2001 M) merupakan seorang ulama kharismatik asal Kajen Pati. Beliau akrab dipanggil Mbah Dullah Salam. Mbah Dullah merupakan perintis  pondok pesantren Mathali’ul Huda Polgarut Selatan (PMH Pusat) Kajen Pati. Silsilah nasab beliau sambung sampai ke Mbah Mutamakkin. Mbah Dullah juga dikenal sebagai sosok waliyullah, hafidzul Qur’an (hafal Qur’an di luar kepala), bahkan hamilul Qur’an (orang yang memahami dan mengamalkan kandungan Qur’an).

Lebih dari itu, Mbah Dullah mufassir, orang yang mampu menjelaskan isi kandungan Al Qur’an, sosok faqih,orang memahami fikih serta mengamalkannya, dan seorang sufi yang konsisten mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf Sunni. Selain itu, Mbah Dullah juga termasuk mursyid thariqah Naqsabandiyyah Mujaddadiyyah Khalidiyyah. Yang mana dhawuh-dahwuh beliau serta akhlak beliau mampu menjadi cahaya dan penyejuk hati masyarakat.     

 Mbah Dullah menghafalkan Al Qur’an dengan Kiai Muhammad Sa’id pengasuh pondok pesantren Assa’idiyah Madura. Setelah itu, Beliau  pulang belajar dengan para kiai-kiai di  Kajen dan di Madrasah Mathali’ul Falah. Selesai dari Mathali’ul Falah, Mbah Dullah belajar di Tebuireng dengan KH M. Hasyim Asy’ari. Masih belum cukup, Mbah Dullah juga berguru kepada Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Selain itu, Beliau juga belajar Qira’ah Sab’ah dan ilmu thariqah kepada KH Arwani Kudus.   

Dilihat dari perjalanan keilmuan yang ditempuh Mbah Dullah tentu menguasai berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman. Sehingga beliau menjadi sosok yang alim, allamah, fakih, dan sufi. Sudah tentu Mbah Dullah termasuk pakar kitab kuning. Meskipun demikian, yang sangat ditekuni Mbah Dullah adalah Al Qur’an. Mbah Dullah sangat mencintai Al Qur’an. Para santri ditanamkan kebiasaan membaca Al Qur’an. Mbah Dullah sangat memperhatikan anak-anak kecil belajar Al Qur’an.   

Berkaitan masalah pendidikan keluarga, Mbah Dullah merencanakan anak-anaknya untuk belajar dan menghafal Al Qur’an sejak usia madarsah ibtidaiyyah (sekolah dasar). Setelah mereka hafal Al Qur’an, Mbah Dullah mendorong anak-anakanya untuk belajar dan mendalami kitab kuning. Tujuannya, dengan menguasai kitab kuning seseorang bisa memahami dan mengamalkan isi kandungan Al Qur’an dengan baik.    

Dengan ihktiyar dan pertolongan Allah SWT Mbah Dullah berhasil mengkader anak-anaknya menjadi generasi cinta Al Qur’an. Anak-anak Mbah Dullah mulai dari KH A Nafi’ Abdillah, KH Minan Abdillah, dan KH Ahmad Zaki Fuad Abdillah mengasuh pondok pesantren di Kajen.

Adapun anak perempuan beliau Hj. Hanifah menjadi istri KH Ma’mun Muazyyin pengasuh pondok pesantren Permata Kajen. Hj. Munawwarah menikah dengan KH M Busyro Abdul Lathif pengasuh pondok pesantren Nurul Hidayah Purwodadi. Hj. Ishmah menikah dengan KH Ulin Nuha Arwani Kudus, pengasuh pondok pesantren Arwaniyyah Yanbu’a. Sedangkan Hj. Shofwatin Nikmah menikah KH Abdullah Ubaid pengasuh pondok pesantren Darul Qur’an Tegal.    

Kisah singkat kehidupan Mbah Dullah Salam ini saya sarikan dari buku berjudul Keteladanan KH Abdullah Zain Salam: Kiat Sukses Membangun Pendidikan Keluarga karya Dr. Jamal Ma’mur Asmani, MA, Global Press, 2018. Membaca kisah Mbah Dullah ini kita bisa mengambil iktibar bahwa tidak cukup bagi kita hanya bisa membaca Al Qur’an saja. Bagi penghafal Al Qur’an tidak cukup hafal diluar kepala saja. Lebih dari itu, para penghafal Qur’an harus mampu memahami dan berusaha mengamalkan kandungan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. .

Memang membaca Al Qur’an adalah salah satu amalan yang dicintai Allah. Memang membaca Al Qur’an sudah bernilai ibadah (Al Muta’abbadu bi tilawatihi). Bahkan  satu-satunya aktifitas membaca yang bernilai ibadah dan mendapat pahala adalah membaca Al Qur’an. Meskipun orang yang membaca tidak memahami isi kandungan Al Qur’an. Orang yang membaca satu huruf akan mendapatkan satu kebaikan. Kemudian satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat.  

Akan tetapi, Al Qur’an tidak hanya sebatas untuk dibaca saja. Al Qur’an tidak sebatas untuk ritual saja, dibaca ketika shalat misalnya. Lebih dari itu, Al Qur’an adalah hudal linnas, petunjuk bagi manusia. Petunjuk yang jika dipahami dan dilaksanakan akan mampu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Al Qur’an yang jika dipahami dengan benar akan menuntun manusia menuju kebahagiaan dunia akhirat. Al Qur’an akan akan menjadi pelipur duka di alam kubur. Pun, Al Qur’an nanti akan menjadi penolong kita di hari Kiamat. 

Karena itu, sejak dini kita harus mencintai Al Qur’an. Bagaimana caranya? Pertama kita  harus mempelajarinya. Pada tahap ini kita belajar mengaji, belajar membaca. Sehingga kita  mampu membacanya fasih, membaca dengan baik dan benar. 

Jika sudah mampu membaca dengan baik dan benar, maka kita harus istiqomah, terus menerus membacanya setiap hari. Membaca Al Qur’an tidak terbatas ketika kita masih anak-anak yang ngaji di TPQ, melainkan sepanjang hayat kita harus membaca Al Qur’an. Justru ketika remaja kemudian berumah tangga membaca Al Qur’an harus semakin intensif. Sebab ketika kita menjadi orangtua, kita dilihat dan menjadi contoh anak-anak kita. Apalagi ketika kita mendekati ajal harus semakin bertambah kecintaan kita kepada Al Qur’an.     

Membaca Al Qur’an tidak hanya pada waktu shalat saja, tetapi juga membaca Al Qur’an di luar shalat. Intinya kita harus meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an; ayat demi ayat, surat demi surat sepanjang hayat.

Kedua, kita hendaknya berusaha memahami isi kandungan Al Qur’an. Secara global Al Qur’an berisi ajaran tentang keimanan, syariat, dan Akhlak. Langkah praktis memahaminya adalah dengan mengaji tafsir Al Qur’an kepada para kiai, ulama, ajengan yang mumpuni ilmunya. Di Kudus sendiri ada pengajian tafsir setiap Jum’at pagi, bakda shubuh, di Masjid Menara Kudus. Selain itu, di era digital saat ini, sebetulnya mengaji tafsir Al Qur’an bisa kita lakukan dengan mudah. Banyak kiai-kiai yang menyajikan ngaji tafsir live streaming di kanal-kanal face book, dan media lainnya. Tinggal diri kita mau ngaji atau tidak. Intinya luangkan waktu untuk mengaji.  

  Selanjutnya, bagi para penghafal penghafal Al Qur’an hendaknya membekali diri dengan ilmu-ilmu keislaman seperti Nahwu, Sharaf, Hadist, Tafsir dan lainnya. Ilmu-ilmu ini dibutuhkan dalam rangka memahami isi dan petunjuk-petunjuk Al Qur’an. Dengan begitu, para penghafal Al Qur’an yang setiap hari bergelut dengan Al Qur’an mampu memahami dan menyerap kandungan Al Qur’an.

Ketiga, jika kita sudah mampu membaca Al Qur’an dan memahami kandungan Al Qur’an langkah berikutnya adalah mengamalkan kandungan Al Qur’an pada kehidupan sehari-hari. Sehingga semangat hidup kita diwarnai oleh cahaya Al Qur’an. Berkah Al Qur’an hubungan kita dengan Allah semakin kuat, begitu juga hubungan kita dengan sesama makhluk semakin harmonis. Hati dan Pikiran kita menjadi bening. Pada akhirnya memancarkan keindahan dari perilaku kita. Demikian itu mudah diucapkan, namun sulit dipraktekkan, bukan? Wallahu a’lam 

*Penulis adalah pengajar di MTs. NU Miftahul Falah Cendono

Komentar0

Type above and press Enter to search.