Oleh: Mualim Ihsan*
“Umat
Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata
melawan
Belanda dan Sekutunya yang
ingin menjajah Indonesia kembali”
(K.H M
Hasyim Asy’ari)
Bangsa Indonesia baru saja menyatakan
proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ratusan tahun
kolonial Belanda menjajah Indonesia. Ratusan tahun pula rakyat Indonesia
mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajah Belanda.
Selain
Belanda, Jepang juga menjajah Indonesia, kurang lebih tiga setengah tahun. Dibawah
penjajahan Belanda maupun Jepang rakyat Indonesia sengsara, tertindas, dan
terbelakang. Dengan gigih dan semangat rakyat Indonesia berusaha melepaskan
diri dari penjajahan. Kini, 17 Agustus 1945 berkat rahmat Allah SWT rakyat
Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Meski demikian, Belanda tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia tersebut. Beberapa minggu setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia tentara Belanda datang. Tentara
Belanda, Netherlands Indies Civil Administration (NICA), datang ke Indonesia
bersama pasukan Sekutu (Inggris). Tujuannya jelas, Belanda ingin kembali
menjajah Indonesia. Belanda masih menganggap Indonesia adalah tanah jajahannya.
Kedatangan tentara Belanda NICA yang
membonceng pasukan Sekutu disambut rakyat Indonesia dengan perlawanan. Para
ulama, santri, dan rakyat Indonesia bergerak mengangkat senjata berjuang
mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi. Rasa cinta tanah air membangkitkan
semangat rakyat Indonesia menghadapi agresi Belanda.
Tentu saja perlawanan rakyat
Indonesia belum terkoordinir dengan baik. Mengingat Indonesia baru saja
merdeka. Pemerintahan masih belum stabil. Ekonomi masih terpuruk. Begitu juga,
pertahanan dan tentara Indonesia belum kuat. Sedangkan ancaman Belanda di depan
mata.
Melihat
kondisi Negara Indonesia yang terancam, Nahdlatul Ulama (NU) bergerak cepat. Dengan
segala daya upaya NU berusaha menggalang kekuatan umat Islam menghadapi
kembalinya Belanda ke Nusantara. NU melihat proklamasi kemerdekaan perlu
didukung dengan tindakan nyata.
Oleh
karena itu, Hadratus Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar (Pemimpin
Besar NU) segera memanggil seluruh
perwakilan NU se-Jawa dan Madura. Pada 22 Oktober 1945 seluruh perwakilan NU
telah bertemu dan berkumpul di Jawa Timur. Selanjuntya bersama para Kiai dan
Ulama se-Jawa-Madura Mbah Hasyim melakukan konsolidasi perjuangan menyelamatkan
Indonesia dari penjajahan Belanda.
Pada
22 Oktober itu juga Mbah Hasyim mengeluarkan fatwa kewajiban jihad (perang
suci) bagi umat Islam, khususnya anggota NU. Berikut fatwa jihad Mbah
Hasyim yang telah membangkitkan semangat juang para kiai, ulama, santri dan
rakyat Indonesia berjuang melawan Inggris dan Belanda:
1.
Kemerdekaan Indonesia
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus (1945) wajib dipertahankan;
2.
Republik Indonesia, sebagai
satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong;
3.
Musuh Republik Indonesia
yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti
akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia;
4.
Umat Islam terutama
anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin
menjajah Indonesia kembali;
5.
Kewajiban ini merupakan
perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal
dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius
tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.
Fatwa
tersebut merupakan bukti yang jelas keterlibatan para ulama, khususnya Mbah
Hasyim, dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Fatwa Jihad ini
menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan. Selain itu, Negara
Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerintahan yang sah yang harus dijaga
dan dipertahankan meskipun dengan mengorbankan jiwa dan harta.
Lebih
jauh, fatwa Jihad Mbah Hasyim tersebut memandang bahwa perang mempertahankan
kemerdekaan merupakan perang suci di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Karena
itu wajib bagi setiap orang Islam yang mampu dan telah memenuhi syarat untuk
berperang mempertahankan kemerdekaan.
Dengan
demikian, fatwa Jihad bisa dipandang sebagai pengakuan terhadap pemerintahan
baru Negara Indonesia. Karena itu, ketika Belanda ingin menjajah kembali
Indonesia maka umat Islam wajib menolaknya dan melakukan perang suci (jihad)
.
Oleh
para kiai dan santri, Fatwa Jihad ini diteruskan dari mulut kemulut, dari
mushalla ke mushalla, dari masjid ke masjid sehingga menyebar ke seluruh Jawa
dan Madura. Fatwa ini terbukti ampuh untuk membangkitkan dan mengobarkan
semangat juang rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris) dan Belanda. Seluruh
elemen masyarakat bersatu padu mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan
penjajah.
Di
Jawa Timur, fatwa jihad Mbah Hasyim telah menginspirasi masyarakat Surabaya
dan sekitarnya melakukan perlawanan terhadap pasukan Inggris dan Belanda.
Pertempuran dahsyat terjadi pada 10 November 1945 antara arek-arek
Surabaya melawan tentara Inggris. Jenderal Malaby, komandan pasukan Inggris
tewas dalam pertempuran ini.
Semangat
pertempuran Surabaya 10 November menjalar ke seluruh Indonesia. Sehingga
terjadilah pertempuran di berbagai daerah melawan Belanda. Dengan terpaksa
Belanda menghentikan agresinya dan duduk di meja perundingan. Dalam perjalanan
sejarah Indonesia pertempuran 10 November ini diperingati dan dijadikan sebagai
Hari Pahlawan.
Demikian
fatwa Jihad Mbah Hasyim. Fatwa yang telah menggerakkan dan membangkitkan
semangat nasionlisme para ulama, santri, dan rakyat Indonesia. Mbah Hasyim
sangat serius dengan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sampai
akhir hayatnya Mbah Hasyim sangat mencintai agama dan bangsanya. Melalui
pondok pesantren Beliau membina samangat beragama para santri. Melalui
organisasi NU beliau melestarikan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah
sekaligus membangkitkan semangat juang
bangsa Indonesia. Pada bulan Ramadhan 25 Juli 1947 beliau menghadap ke hadirat
Allah SWT untuk selama lamanya dalam usia 77 tahun. Umat Islam dan bangsa Indonesia kehilangan
seorang Ulama panutan sejati, pejuang, dan pengayom umat.
Al Fatihah untuk Beliau ….
*Penulis alumni Ponpes Futuhiyyah Mranggen dan UIN Walisongo Semarang
Komentar0