Syarat sahnya sholat ada lima.
Pertama mengetahui waktu sholat. Kedua menghadap kiblat. Ketiga menutup aurat.
Keempat suci dari hadas. Kelima suci dari najis.
Syarat sholat yang keempat adalah suci dari hadats. Baik hadas
besar maupun hadas kecil.
Ketika seseorang sedang melakukan sholat dan di
tengah-tengahnya ia tidak mampu menahan hadas (misalnya karena perutnya sakit
sehingga mengeluarkan hadas). Padahal sebelum sholat/wudlu ia sudah
mengantisipasi dengan mengeluarkan hadas terlebih dahulu. Dalam hal ini jelas si musholly tidak
melakukan kecerobohan apalagi kesengajaan. Maka bagaimanakah sholatnya?
Menurut Qoul Jadid, sholat seseorang tersebut batal karena
ada syarat yang dilanggar yaitu datangnya hadas. Disengaja maupun tidak
disengaja. Salah satu syarat sahnya sholat adalah suci dari hadas. Dengan
datangnya hadas maka sifat suci dari hadas menjadi hilang. Maka
sholatnya menjadi batal.
Sementara menurut Qoul Qodim, tidaklah batal sholatnya. Musholly bisa melanjutkan sholat setelah
bersuci. Ia bersuci terebih dahulu kemudian melanjutkan sholatnya. Ini karena
posisi musholly sedang ada udzur.
Gerakan yang sudah dilakukan sejak awal sampai ia terpaksa
hadas tersebut tidak menjadi batal. Sehingga setelah berwudlu sholatnya nanti tinggal
meneruskan gerakan selanjutnya. Bagaimana caranya? Musholly jalan ke tempat
wudlu, berwudlu lantas meneruskan sholat. Akan tetapi ia hanya boleh bergerak
sesuai kebutuhan saja. Kebutuhannya jalan ya jalan. Kebutuhannya wudlu ya
wudlu. Tidak boleh melakukan kegiatan lain.
Setelah selesai wudlu, lalu kembali ke tempat semula ia
sholat. Atau bisa saja mengambil suatu tempat yang dekat dengan tempat wudlu
kemudian melanjutkan gerakan sholat yang terakhir sebelum ia hadas. Misalnya
kalau gerakan terakhir yang dilakukan adalah ruku’ maka tinggal melanjutkan
gerakan selanjutnya yaitu I’tidal.
Qoul Qodim ini tidak masyhur dipraktikkan karena ribet dan sulit.
Qoul Qodim ini benar-benar harus diilmuni seandainya mau digunakan. Kalau
tidak nanti malah bisa keliru. Maka akan lebih baik kita menggunakan Qoul Jadid
yang memang masyhur dan lazim di masyarakat, kalau kita sholat dan di tengah
sholat tiba-tiba kita hadas ya batal sholatnya. Setelah berwudlu mengulangi lagi
sholat dari awal.
Yang perlu digarisbawahi, dua qoul diatas (Qoul Jadid dan
Qoul Qodim) berlaku dalam masalah membatalkan sholat ketika munculnya hadas tidak
ada unsur kecerobohan dari musholly. Kalau ceroboh maka kedua qoul mengatakan
sholatnya batal.
Datangnya
Sesuatu yang Tidak Bisa Diantisipasi Seketika
Ketika seseorang dalam kondisi sholat kemudian kesulitan
dalam mengantisipai sesuatu yang baru datang, misalnya badan atau bajunya
terkena cipratan barang najis dan ia kesulitan untuk menghindari dengan seketika,
maka berlaku dua pendapat Quol Jadid dan Qoul Qodim tadi.
Kalau mengikuti Qoul Jadid maka sholat kita menjadi batal.
Sedangkan menurut Qoul Qodim sholat tidak batal. Dengan cara segera
membersihkan badan atau baju yang terkena najis kemudian meneruskan sholat.
Misalnya saat sholat kemudian bajunya terkena kotoran cicak
yang masih basah sehingga menempel di baju. Tentu musholly tidak bisa
mengantisipasi (dengan membuang najis) seketika, maka dalam pandangan Qoul
Jadid batal sholatnya. Ini berbeda seandainya yang terkena najis (kotoran
cicak) adalah kopyah. Seketika itu juga musholly dapat membuang kopyahnya. Maka
sholatnya tidak batal. Contoh yang sama ketika misalnya baju bagian belakang
tersingkap angin. Musholly dapat menutupnya seketika, maka sholatnya tidak
batal.
Kecuali kalau musholly ceroboh maka sholatnya menjadi batal.
Contoh, seseorang sholat dan ia tahu batas
mengusap muzah akan segera habis (kalau di rumah 1 hari 1 malam. Dalam
perjalanan/musafir 3hari) sebelum sholatnya selesai. Maka sholatnya batal.
Berarti ia melakukan kecerobohan. Karena dia harus membasuh kedua kaki atau mengulangi wudlunya.
Suci Dari Najis
Syarat sholat yang kelima adalah suci dari najis. Baik badan,
pakaian, dan tempat sholat. Ketiganya harus suci. Badannya suci tapi pakainnya
tidak suci maka batal sholatnya. Badan suci, pakain juga suci tapi tempat yang
digunkan sholat tidak suci maka batal sholatnya. Baik badan, pakaian, dan
tempat harus suci semua.
Bagaimana seandainya seseorang sholat dan dibawah sajadahnya
terdapat barang najis, kotoran ayam misalnya? Maka sholat seseorang tersebut
tidak batal dan tetap sah. Yang terpenting adalah sarung atau pakainnya tidak
terkena tanah yang ada najisnya. Itu yang harus dijaga.
Contoh lain adalah yang sering dipraktikkan, shoat jenazah. Di
saat Covid 19 sholat mayit dilakukan di halaman masjid atau di halaman kuburan.
Maka agar sholatnya aman dari najis dan tetap sah maka caranya adalah sendal/sepatu dilepas (tidak dipakai) lalu kaki menginjak di atas sandal/sepatu. Sebab kalau sandal/sepatu dipakai maka berarti kita bawa
najis.
Lalu bagaimana seandainya musholly mengalami kebimbangan dan
keraguan apakah baju/tempat yang digunakan sholat itu suci apa
najis? Maka musholly diperintahkan melakukan ijtihad mantapnya yang mana. Setelah
melakukan ijtihat, dengan mengingat-ingat atau ada tanda-tanda tertentu maka hasilnya menjadi jelas, barang itu
suci atau najis.
Seandainya musholly sudah ijtihad tapi tetap tidak jelas.
Tidak bisa menentukan salah satu ini suci atau najis. Sementara saat itu tidak
ada pilihan pakain lain. Sholatnya bagaiamana? Maka seseorang tetap harus sholat
sekalipun sholatnya tidak pakai pakaian. (Misalnya di padang pasir yang tidak
mungkin ada aternatif pakaian lainnya. Bukan diperkampungan yang sangat
dimungkinkan meminjam atau mencari pakaian lain). Akan tetapi nanti ia wajib I’adah
atau mengulagi sholatnya.
Jika ada pakaian atau badan sebagian terkana najis tapi tidak
tahu di bagian mana yang terkena najis maka harus dibasuh secara keseluruhan
supaya sholatnya jadi sah.
Menurut qoul shohih, kalau ia punya dhon (perkiraan) yang
kena najis itu kira-kira di lengan, akhirnya di bagian lengan itu saja yang
dibasuh, maka dhon itu dianggap tidak mencukupi. Maka harus benar-benar
yakin. Kalau tidak yakin maka harus dibasuh semuanya.
(disarikan
dari ngaji Kitab Minhajuth Tholibin karya Syaikh Abi Zakaria Yahya An Nawawi bersama Gus Saefudin, M.Pd. di Kanzus
Sholawat Ansor Banser Cendono tanggal 18 Agustus 2021)
Komentar0