Menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah SAW. Selanjutnya daging hewan kurban tersebut dibagikan kepada muslimin terutama fakir miskin. (ilustrasi foto: Pikiran Rakyat).
Manusia adalah makhluk yang mencinta dan sekaligus ingin
dicintai. Seorang istri mencintai suaminya sekaligus mengharap dicintai
suaminya. Ia berharap akan mendapatkan pancaran sinar cinta suaminya sepenuh
hati. Ia tidak ingin hati suaminya mendua. Bahkan demi cintanya kepada suami Ia
akan selalu berusaha keras untuk menyenangkan hati suaminya.
Begitu pula, seorang suami juga mencintai istrinya. Disisi
lain ia juga mendambakan limpahan cinta dari sitrinya. Ia akan berusaha sekuat
tenaga untuk membahagiakan istrinya. Sebisa mungkin ia akan menghindari menyakiti hati istrinya.
Ketika lahir seorang anak, cinta suami istri tertumpah
kepada anak. Suami menjadi ayah dan istri menjadi ibu. Mereka berdua menjadi
orangtua. Kemudian anak menjadi pusat segalanya. Segala daya upaya dilakukan orangtua
untuk mempersiapkan masa depan anaknya. Anak bahagia, tumbuh sehat, cerdas,
baik budinya, adalah dambaan hati orangtua pada lazimnya.
Dalam tradisi kenabian kehadiran anak tidak hanya sebatas
sebagai perhiasaan hidup saja. Lebih dari itu, kehadiran anak merupakan
kehadiran pemimpin masa depan. Anak akan meneruskan estafet perjuangan para
Nabi untuk membumikan ajaran tauhid di muka bumi ini.
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”, demikian pinta Nabi
Ibrahim (Q.S As-Shaffat: 100).
Allah berkenan
memenuhi permintaan Nabi Ibrahim. Lahirlah Ismail. Suatu anugerah yang besar
bagi Nabi Ibrahim. Sebab sudah sekian puluh tahun ia menanti kehadiran seorang
anak. Satu tahun dua tahun ia menunggu lahirnya buah hati. Apa yang Ia dambakan
tak kunjung datang. Dan diusianya yang sudah senja, sudah sepuh,
lahirlah anak yang kelak akan meneruskan perjuangannya menegakkan tauhid.
Betapa senang, betapa bahagianya Nabi Ibrahim.
Meski demikian, Nabi
Ibrahim tidak lama menikmati suka cita atas kelahiran Ismail. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk pergi ke Mekkah
bersama Ismail dan ibunya. Tidak hanya itu, Allah juga memerintahkan Nabi
Ibrahim untuk meninggalkan Ismail dan ibunya di Mekkah. Padahal waktu itu,
Mekkah merupakan lembah padang pasir yang gersang, tandus, tiada air, sepi, dan
tidak berpenghuni.
Tidak hanya itu, setelah Ismail menginjak usia remaja, Nabi
Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah
melalui mimpi untuk menyembelih putra semata wayangnya, Ismail.
Pada malam pertama mimpi itu datang kepada Ibrahim. Dalam
mimpinya seakan-akan ada yang berkata kepadanya: “Susungguhnya Allah
memerintankanmu menyembelih anakmu ini”.
Setelah bangun dari tidurnya, dari pagi sampai sore Nabi
Ibrahim merenungkan mimpinya itu. “Apakah mimpi ini dari Allah atau setan?”
Nabi Ibrahim berusaha untuk mendapatkan kepastian akan sumber mimpinya. Apakah
mimpi tersebut benar-benar dari Allah atau bukan.
Berikutnya hari Nabi Ibrahim merenungkan mimpinya ini disebut
dengan hari Tarwiyah. Tarwiyah yang berarti perenungan.
Kemudian pada malam
kedua, Nabi Ibrahim bermimpi lagi, mimpi yang sama dengan mimpi pada malam pertama. Nabi Ibrahim pun mengetahui bahwa
mimpi itu datang dari Allah. Nabi Ibrahim benar-benar tahu, meyakini, bahwa
mimpi itu benar-benar perintah Allah.
Selanjutnya hari ketika Nabi Ibrahim meyakini dan mengetahui mimpi
itu dari Allah disebut dengan hari Arafah. “Arafa” yang berarati telah
mengetahui atau yakin.
Mimpi serupa datang lagi pada malam ketiga. Mimpi yang ketiga
ini mendorong Nabi Ibrahim untuk melaksanakan perintah dalam mimpi tersebut.
Keesokan harinya Nabi Ibrahim bertekad menyembelih putranya. Ibrahim pun ikhlas
berserah diri melaksanakan perintah menyembelih Ismail.
Tetapi ketika Ibrahim hendak menyembelih Ismail Allah mengganti
Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Hal ini merupakan
balasan atas ketaatan dan keikhlasan Nabi Ibrahim dan Ismail mentaati
perintah Allah.
Maka hari ketika Nabi Ibrahim bertekad menyembelih Ismail, putranya,
dinamakan hari Nahr, yang berarti hari penyembelihan. Kemudian hari
Nahr dikenal dengan penyembelihan hewan kurban. Dengan adanya peristiwa ini. dimulailah
kegiatan berkurban pada hari Raya Idul Adha yang berlangsung hingga saat ini.
Pelajaran Mencinta
Kisah Nabi Ibrahim telah memberi pelajaran berharga bagi
kita. Banyak pelajaran bagaimana kita mencinta dalam kisah Ibrahim dan Ismail. Pertama,
cinta kita yang utama dan pertama adalah mencintai Allah Yang Maha Kasih. Kita
memang mencintai anak-anak kita, harta, jabatan kita, status social kita. Akan
tetapi jangan sampai mengalahkan cinta kita kepada Allah.
Harta kita,
jabatan kita, status social kita, dan anak-anak kita ibarat “Ismail” bagi Nabi Ibrahim. Jangan sampai
kecintaan kita terhadap apa yang kita miliki melalaikan kita kepada Allah. Jangan sampai hati kita menduakan Allah.
Jika pada
saatnya Allah menghendaki melepas apa yang kita miliki, maka lepaskanlah. Jika
Allah meminta apa yang kita cintai, maka serahkanlah. Sebagaimana Nabi Ibrahim
menyerahkan Ismail yang ia cintai untuk dikurbankan. Ismail hanyalah titipan
Allah, sebagaimana harta dan apa yang kita miliki juga titipan dari Allah.
Kedua,
Allah tidak membutuhkan sesajen atau persembahan. Apalagi jika sesajen itu
berupa manusia, mengorbankan nyawa manusia. Allah mengajarkan kepada kita untuk
menghargai dan mencintai kehidupan manusia. Tidak boleh menjadikan manusia
tumbal dengan alasan mengabdi kepada Allah Pemelihara Alam. Karenanya Allah
mengganti Ismail dengan seekor domba.
Ketiga, jika kita mencintai Allah maka cintailah sesama manusia. Jika
ingin dekat kepada Allah, maka dektilah sesama manusia. Dengan cara apa? Dengan cara mengajak orang
lain bersama-sama menikmati karunia Allah. Dengan cara membahagiakan hati
sesama.
Bahagiankanlah hati orang yang susah, berilah pakaian kepada
orang yang telanjang, berilah makan kepada orang yang kelaparan, dan berilah
minum kepada orang yang dahaga. Inilah cara kita mencintai Allah.
Demi cintanya kepada Allah Nabi Ibarahim rela melepas,
menyerahkan, dan mengorbankan Ismail.
Tetapi bukan Ismail yang menjadi kurban tetapi seekor domba. Seekor domba
sebagai symbol karunia Allah yang patut kita syukuri.
Allah tidak butuh sesajen kurban seekor domba. Yang naik di sisi
Allah bukan darah atau daging seekor domba, melainkan ketulusan kita berkurban
untuk sesama.
Yang bernilai di sisi Allah adalah ketulusan kita membahagiakan
sesama. Ketulusan kita untuk berbagi. Berbagi makanan, berbagi ilmu, berbagi
keceriaan, dan berbagi kegembiraan kepada orang lain. Ketulusan itulah tanda
kita cinta kepada Allah.
*)
Mualim, Mengajar di MTs NU Miftahul Falah Dawe Kudus Jawa Tengah
Komentar0