Prosesi ritual "Sedekah Padasan" di Kampung Budaya Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe
Oleh Muchammad Zaini, M.Pd.
Padha gulangen ing kalbu
Ing sasmita amrih lantip
Aja pijer mangan nendra
Kaprawiran den kaesti
(Kinanthi,
Sunan Muria)
Dahulu, tembang tersebut sayup-sayup terdengar di siang atau malam
hari. Dari bibir seorang ibu yang menggendong anaknya, dari seorang kakak yang
bermain congklak mengajari adiknya, atau bahkan dari nenek yang berharap bisa
menidurkan cucunya. Tidak hanya tembang itu saja, banyak jenis syair seperti
ilir-ilir, mijil, pocung dan lainnya begitu lekat dengan kehidupan mereka.
Tentram, mendidik dan amat indah dirasakan suasananya.
Disertai sepoi angin lembah yang turun dari pegunungan,
dedaunan melambai penuh kesejukan ketika dipandang, gemercik air irigasi
sesekali menyusup terdengar, menambah semangat dan ungkapan syukur pada Allah,
Sang Pencipta Kehidupan. Meski di tengah keterbatasan, masyarakat lalu lalang
dengan damai, bertegur sapa penuh senyuman, bahkan sekadar menanyakan kabar
handai tolan.
Tampak bahwa kearifan masih begitu melekat dalam laku
keseharian sebagai tanda hidupnya nilai kebudayaan dalam sebuah peradaban. Manusia
hidup dalam keteraturan hukum yang tak tertulis dengan semboyan semangat
kebhinekaan, tepo seliro dan penuh kesalehan. Mereka diarahkan oleh nilai dari
sebuah ajaran kasunanan, yang dituturkan secara turun temurun berkelanjutan.
Budaya Kasunanan
Di Kawasan Muria misalnya, masyarakat memiliki figur panutan
yang hingga kini masih dilestarikan ajarannya. Kisah Raden Umar Said (Sunan
Muria) begitu melegenda dengan ajaran Tapa Ngeli dan Pagar Mangkuknya. Secara
alamiah, ajaran itu menyublim menjadi sebuah mitos dan cerita rakyat (folklore)
yang dipatuhi oleh masyarakat. Maka muncullah kebiasaan-kebiasaan baik seperti
sedekah, kirim doa arwah, maupun ziarah sebagai sesuatu yang lumrah dan harus
ada tanpa dipaksa.
Hal itu sebab mereka berpegang pada sebuah falsafah yang dipercaya
bisa mengarahkan hidup menuju kebaikan-kebaikan yang lainnya. Bagi masyarakat
Muria khususnya, Tapa Ngeli adalah sebuah falsafah dari Sunan Muria yang
relevan diterapkan hingga akhir zaman. Secara harfiah Tapa adalah
bertapa, menyepikan diri dari keramaian sekitarnya. Sedangkan Ngeli adalah
menghanyutkan diri.
Dua kata itu tampak bersebrangan secara makna, karena tidak
mungkin bagi seseorang bisa menyepi tetapi masih harus mengikuti perkembangan
yang ada disekitarnya. Namun, justru dari sisi itu lah tampak kehebatan Sunan
Muria. Yakni bisa menggabungkan dua hal yang berbeda menjadi selaras, seirama
untuk membentuk sebuah pola. Maka, dalam tingkatan lain, Sunan Muria terlebih
dahulu mencetuskan ajaran Tapa Ngrame (bertapa dalam keramaian) untuk
melatih hati dan mental dalam menghadapi Tapa Ngeli.
Sebagaimana tokoh yang lainnya, ciri khas budaya kasunanan
terletak pada seni mengelola hati yang didesain secara rapi dan bertingkat.
Maksudnya, dalam mengarahkan manusia kepada jalan kebaikan yang diridlai
oleh-Nya, mereka tidak lantas memaksa harus seketika itu juga. Para wali begitu
sadar akan proses dan tahapan sehingga tidak membuat aturan yang represif
secara tiba-tiba. Para wali itu lebih memilih jalan budaya untuk mengelola hati
umatnya sehingga ajarannya bisa bertahan lama dan membawa kebaikan bagi semua
makhluk-Nya.
Mereka mewarisi ajaran Nabi Muhammad yang mampu menumbuhkan tunas
atau benih baru yang baik, tanpa merusak ladangnya. Sebagaimana disebutkan
dalam kutipan QS. Al-Fath ayat 29,
“……… Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka yang diungkapkan dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan
tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus
di atas batangnya, tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya, …….”
Sunan Muria dengan Tapa Ngeli-nya, berharap
bisa menumbuhkan tunas kesalehan dalam menjalani kehidupan berbangsa. Jika
dimaknai lebih dalam lagi, ajaran Tapa Ngeli mengajak manusia agar bisa
menyesuaikan diri dengan zamannya tanpa harus terbawa oleh arus yang ada.
Ajaran Tapa Ngeli mengajak manusia supaya “zuhud” dalam bidang apa saja.
Manusia pengikut ajaran Sunan Muria memiliki mental yang
selalu ingin memberi manfaat selagi ia bisa. Di sisi yang lain, ketika ia tidak
bisa memberi manfaat, ia akan berdoa tentang hal-hal baik agar sekitarnya pun
membaik. Tidak cukup itu, jika ada sesuatu yang dirasa menyimpang dan tidak
sesuai, ia akan mencoba mendalami terlebih dahulu akar persoalannya (Ngeli) untuk
kemudian diurai dan diselesaikan dengan cara yang menumbuhkan kebaikan sesuai
dengan kapasitasnya. Ini lah kesalehan yang sesungguhnya.
Kini, di tengah berbagai himpitan, benturan dan badai
ketidakpastian, kesalehan seperti itu relevan untuk dihidupkan. Dalam cakupan
yang lebih luas, kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan kesalehan seperti
yang diajarkan oleh Sunan Muria. Saling memberi, saling memotivasi, saling
mengasah kemampuan diri dan saling mengasuh hati. Salam Asah, Asih dan Asuh,
semoga kita semua selalu dalam ridla Ilahi Rabbi.
*) Muchammad Zaini, M.Pd., Wakil Ketua Lesbumi NU Kudus, Ketua
Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW) Indonesia
*) Tulisan ini pertama kali dimuat di Buletin Suara Majid Agung Kudus
Komentar0